Cari Blog Ini

Minggu, 30 September 2012

DIABETES MELITUS (DM)



 

DIABETES MELITUS (DM)

A.      Defenisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan” (siphon). Melitus dalam bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi.3
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan menifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. 1
Diabetes melitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktorial. Penyakit ini ditandai oleh hiperglikemia kronis dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein serta lemak. Patofisiologi DM berpusat pada gangguan sekresi insulin dan/atau gangguan kerja insulin. Penyandang DM akan ditemukan dengan berbagai gejala seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum) dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan.4
B.       Epidemiologi
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkatkan jumlahnya di masa yang akan datang. Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan uma manusia pada abad 21. Perserikaaan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang.5
3
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Di duga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kemetian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 21/2 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Serangan jantung. Gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita tidak terkontrol juga meningkta. Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular.1
Prevalensi DM di Indonesia mencapai jumlah 8.426.000 (tahun 2000) yang diproyeksikan mencapai 21.257.000 pada tahun 2030. Artinya, terjadi kenaikan tiga kali lipat dalam 30 tahun.6
Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseran yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, meskipu diakui bahwa angka penyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan timbulnya penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS, juga angka kesakitan TBC yang tampaknya masih tinggi dan akhir-akhir ini flu burung, demam berdarah dengue (DBD) antraks dan polio melanda negara yang kita cintai ini. Di lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, di antaranya diabetes meningkat tajam. Perubahan pola penyakit iitu diduga ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran, ke pola makan ke barat-baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap santap yang akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda.5
C.      Etiopatogenesis
4
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufesiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsan oleh glukosa. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta rusak. Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari gen histokompabilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4) adalah yang memberi kode pada protein-protein yang berperan penting dalam monosit-limposit. Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari respon imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limposit T yang terganggu akan berperan penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau langerhans. 1
 Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes melitus Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β pulau Langerhans akibat proses autoimun.7
Ini adalah penyakit yang jarang terjadi, terutama mengenai penduduk Eropa utara yang berkulit putih (25/10.000 populasi), di mana gejala timbul pada usia <30 tahun, dan terjadi defisiensi insulin absolut setelah sel β pangkreas dihancurkan oleh proses autoimun pada orang-orang yang memiliki predisposisi secara genetis.8
5
Infiltrasi pulau pangkreas oleh makrofag yang teraktivasi, limposit T sitotoksik dan supresor, dan limposit B menimbulkan ‘insulitis’ dekstruktif yang sangat selektif terhadap populasi sel β. Sekitar 70-90% sel β hancur sebelum timbul gejala klinis. DM tipe 1 merupakan gangguan poligenik sebesar 30%. Terdapat kaitan dengan HLA halotife DR3 dan DR4 di dalam kompleks histokompatibilitas mayor pada kromosom 6, walaupun alel ini dapat merupakan marker untuk lokus lain yang berperan dalam antigen HLA klas II yang terlibat dalam inisiasi respon imun. Faktor lingkungan juga dapat berperan penting sebagai etiologi diabetes tipe 1 : peran virus dan diet sedang diteliti.9
Diabetes tipe 1 diperkirakan terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau langerhans. Individu yang memiliki kecendrungan genetik penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses otoimun. Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti gondongan (mumps), rubela, atau sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajana terhadap obat atau toksin juga disuga dapat  memicu serangan otoimun ini. Karena proses penyakit diabetes tipe 1 terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor pencetus yang pasti. Pada saat diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans pada sebagian besar pasien. Mengapa individu membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans sebagai respon terhadap faktor pencetus tidak diketahui. Salah satu mekanisme yang kemungkinan adalah bahwa terdapat agens lingkungan yang secara genetis mengubah sel-sel pangkreas sehingga menstimulus pembentukan autoantibodi. Kemungkinan lain bahwa para individu yang mengidap diabetes tipe 1 memiliki kesamaan antigen antara sel-sel beta pangkreas mereka dan mikroorganisme atau obat tertentu. Sewaktu berespons terhadap virus atau obat, sistem imun mungkin gagal mengenali bahwa sel pangkreas adalah "diri”, mereka sendiri.3
Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi, mencakup 85% pasien diabetes. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. Mekanisme resistensi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum jelas. Walaupun terdapat sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor insulin yang ditemukan, namun pada beberapa kasus yang berhubungan sindrom resistensi insulin yang jelas, hal ini jarang terjadi dan tidak menjelaskan hiperinsulinemia yang terjadi pada sebagaian besar pasien dengan diabetes tipe 2. Konsekuensi hiperensulinemia yang berkepanjangan adalah terjadinya defisiensi insulin.9
6
DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang paling sering ditemukan dan ditandai dengan gangguan pada sekresi serta kerja insulin. Kedua defek ini terdapat pada DM klinis. Penyebab yang jumlahnya banyak dan bervariasi untuk terjadinya kelainan ini telah teridentifikasi. DM tipe 2 juga memiliki perubahan multifaktorial. Mayoritas pasien DM tidak bergantung pada insulin dan kebanyakan dari mereka menderita diabetes pada usia dewasa. Pada Dm 2 sering terdapat retensi insulin dengan insulinopia relatif yang kadang-kadang pada saat-saat stres memerlukan insulin.4
Penyakit ini sering ditemukan (prevalensi saat ini adalah 2% di Inggris dan 6,6% di AS, dan meningkat dengan pesat akibat faktor gaya hidup/diet) pada usia menengah dan manula, diakibatkan terutama oleh resistensi terhadap kerja insulin di jaringan perifer. Walaupun pada tahap lanjut defisiensi insulin dapat terjadi, namun tidak ditemukan dafisiensi absolut insulin. Penyakit ini juga dipengaruhi faktor genetik. Pada kembar identik tingkat kesamaannya adalah 90%, namun tidak ada kaitannya dengan antigen leukosit manusia (human leukocyte antigen [HLA]).8
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Resiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2.1
7
Untuk kebanyakan individu, diabetes melitu tipe 2 tampaknya berkaitan dengan kegemukan. Selain itu, kecendrungan pengaruh genetik, yang menentukan individu kemungkinan mengidap penyakit ini, cukup kuat. Diperkirakan bahwa terdapat sifat genetik yang belum teridentifikasi yang menyebabkan pangkreas mengeluarkan insulin yang berbeda, atau menyebabkan reseptor insulin atau perantara kedua tidak dapat berespons secara adekuat terhadap insulin. Terdapat kemungkinan lain bahwa kaitan rangkai genetik antara yang dihubungkan dengan kegemukan dan rangsangan berkepanjangan reseptor-reseptor insulin. Rangsangan berkepanjangan terhadap reseptor-reseptor tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang terdapat di sel tubuh. Penurunan ini disebut downregulation. Penelitian lain menduga bahwa defisit hormon leptin, akibat kekurangan gen penghasil leptin atau tidak berfungsi, mungkin bertanggungjawab untuk diabetes melitus tipe 2 pada beberapa individu. Tanpa gen leptin, yang sering disebut gen obesitas pada hewan, mungkin termasuk manusia, gagal berespons terhadap tanda kenyang, dan itulah mengapa menjadi gemuk dan menyebabkan insensitivitas insulin. Meskipun obesitas merupaka resiko utama untuk diabetes melitus tipe 2, ada beberapa individu yang menderita diabetes tipe 2 di usia muda dan individu yang kurus atau dengan berat badan yang normal. Salah satu contoh tipe penyakit ini adalah MODY (maturity-onset diabetes of the young), suatu kondisi yang dihubungkan dengan defek genetik pada sel beta pangkreas yang tidak mampu menghasilkan insulin. Pada keadaan seperti ini dan beberapa kondisi lainnya, berkaitan erat dengan rangkai genetik suatu sifat yang diwariskan.3
D.      Klasifikasi
Beberapa klasifikasi diabetes melitus telah diperkenalkan, berdasarkan metode presentase klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit. Kotak 63-1 menjelaskan klasifikasi yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa : (1) diabetes melitus tipe 1 dan 2, (2) diabetes gestasional (diabetes kehamilan), dan (3) tipe khusus lain. Dua kategori lain dari dari toleransi glukosa abnormal adalah gangguan toleransi glukosa dan gangguan glukosa puasa.1
1.    Diabetes tipe 1
8
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolut insulin. Sebelumnya, tipe diabetes ini disebut sebagai diabetes melitus dependen insulin (IDDM), karena individu pengidap penyakit ini harus mendapat insulin pengganti. Diabetes tipe 1 biasanya dijumpai pada individu yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-lakisedikit lebih banyak dari pada wanita. Karena insidensi diabetes tipe 1 memuncak pada usia remaja dini, pada masa dahulu bentuk ini disebut sebagai diabetes juvenilis. Akan tetapi, diabetes tipe 1 dapat timbul pada semua kelompok usia.3
Insidensi diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapt dibagi dalam dua sub tipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan Asia.1
Pengidap diabetes tipe 1 memperlihatkan kadar glukosa normal sebelum yang terkendali awitan penyakit muncul. Pada masa dahulu, diabetes tipe 1 dianggap penyakit yang terjadi tiba-tiba dengan sedikit tanda peringatan. Akan tetapi, saat ini, diabetes tipe 1 adalah penyakit yang biasanya berkembang secara perlahan selama beberapa tahun, dengan adanya autoantibodi terhadap sel-sel beta destruksi yang terjadi secara terus-menerus pada diagnosis lanjut. Pada saat diagnosis tipe 1 ditegakkan, biasanya pangkreas tidak atau sedikit mengeluarkan insulin, dan lebih dari 80% sel beta pangkres telah dihancurkan. Kadar glukosa darah meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk ke sel. Pada saat yang sama, hati mulai melakukan glukoneogenesis (sintesis glukosa baru) menggunakan subtrat yang ter sedia seperti sam amino, asam lemak dan glikogen. Subtrat-subtrat ini mempunyai konsentrasi yang tinggi dalam sirkukalsi karena efek katabolik glukagon tidak dilawan oleh insulin. Hal ini yang menyebabkan sel-sel mengalami kelaparan walaupun kadar glukosa darah sangat tinggi. Hanya sel otak dan sel darah merah yang tidak kekurangan glukosa karena keduanya tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa.3
2.    Diabetes tipe 2
9
Hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler terhadap insulin disebut diabetes melitus tipe 2. Selain itu, terjadi defek sekresi insulin ketidakmampuan pangkreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal. Meskipun kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal, jumlah insulin tetap rendah sehingga kadar glukosa plasma meningkat. Karena insulin tetap dihasilkan sel-sel beta pangkreas, diabetes melitus tipe 2 yang sebelumnya disebut diabetes melitus tidak tergantung insulin atau NIDDM (noninsulin dependent diabetes melitus), sebenarnya kurang tepat karena banyak individu yang mengidap diabetes tipe 2 dapat ditangani dengan insulin. Pada diabetes melitus tipe 2, lebih banyak banyak wanita yang mengidap penyakit ini dibandingkan pria. Predisposisi genetik yang kuat dan faktor lingkungan yang nyata dapat menyebabkan diabetes melitus tipe 2.
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe nondependen insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini.
3.    Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin akan memperlihatkan toleransi inglukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan.1
DM gestasional merupakan intoleransi karbohidrat yang mengakibatkan hiperglikemia dengan keparahan yang beragam dan onset atau deteksi pertama kali pada saat hamil. Defenisi ini berlaku tanpa memandang apakah hormon insulin digunakan atau tidak dalam penanganannya ataukah keadaan tersebut tetap bertahan setelah kehamilan berakhir. Intoleransi glukosa dapat mendahului kehamilan tetapi keadaan ini tidak diketahui sebelumnya.4
Meskipun diabetes tipe ini sering membaik setelah persalinan, sekitar 50% wanita pengidap ini tidak akan kembali ke status nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Bahkan, jika membaik setelah persalinan, resiko untuk mengalami diabetes tipe 2 setelah sekitar 5 tahun II pada waktu mendatang lebih besar daripada normal.3
4.    Tipe khusus lain
10
Tipe khusus lain adalah (a) kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan resisten tehadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan baik dalam empat bentuk mutasi dan bentuk fenotif yang berbeda (MODY 1, MODY 2, MODY 3, MODY 4); (b) kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan akantosis negrikans; (c) penyakit pada eksokrin pangkreas menyebabkan pangkreatitis kronik; (d) penyakit endokrin seperti sindrom Cushing dan akromegali; (e) obat-obatan yang bersifat terhadap sel-sel beta; dan (f) infeksi.1
E.       Gambaran Klinik dan Patofisiologi
Kejadian DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai penyebab utama. Di sis lain timbulnya DM bisa berasal dengan kekurangan insulin yang bersifat relatif yang disebabkan oleh adanya resistensi insulin (insuline resistance). Keadaan ini ditandai dengan ketidakrentanan/ketidakmampuan organ menggunakan insulin, sihingga insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam mengatur metabolisme glukosa. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia).6
Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kada gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah lebih dari 160-180 mg/dL maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibat poliuri maka penderita merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Hal ini menyebabkan penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).2
11
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuretik osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami kalori negatif dan berat badan kurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagi) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.1
Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual, dan berkurangnya ketahanan selama olahraga.  Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat maka sebelum mengalami pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Pada sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan.2
Pada pasien diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapat pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obatan hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas periver terhadap insulin. Kadar insulin sendiri pada pasien mungkin berkurang, normal atau malah tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resistensi terhadap insulin eksogen.1
12
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya bisa timbul secara tiba-tiba dan berkembang dengan cepat kedala suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah tinggi, tapi karena sebgaian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia yang beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosi). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah, dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam beberapa jam setelah gejala muncul. Bahkan, setelah menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius.2
Dalam keadaan yang normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan lemak yang meningkatkan produksi bahan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.10
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah maka timbullah gejala berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres, misalnya infeksi atau obat-obatan) maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang, dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar nonketotik.2
13
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin pada reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulinpada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulus pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita teloransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terhjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya, karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemih hiperosmoler nonketotik (HHNK).10
Individu pengidap diabetes tipe 2 sering memperlihatkan satu atau lebih gejala non-spesifik, antara lain :
·      Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan kadar glukosa di sekitar mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah.
·      Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau, pada kasus yang lebih berat, kerusakan retina.
·      Paretesia, atau abnormalitas sensasi.
·      Kandidiasis vagina (infeksi ragi), akibat peningkatan kadar glukosa di sekitar vagina dan urine, serta gannguan fungsi imun. Kandidiasi dapat menyebabkan rasa gatal di vagina. Infeksi vagina merupakan kondisi yang sering dijumpai pada wanita yang sebelumnya tidak diduga menderita diabetes.
·      Pelisutan otot dapat terjadi karena protein otot digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh.3
F.       Pemeriksaan Fisik
14
Pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk memeriksa tanda-tanda ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan kussmaul, hipotensi ortostatik, dan latergi. Pasien ditanya tentang gejala ketoasidosis diabetik, seperti mual, muntah dan nyeri abdomen. Hasil-hasil laboratorium dipantau untuk mengenali tanda-tanda asidosis metabolik, seperti penurunan nilai pH serta kadar bikarbonat dan untuk mendeteksi tanda-tanda gangguan keseimbangan elektrolit.10
Pemeriksaan fisik selama episode hipoglikemik menunjukkan :
·      Respon autonomik
ø       Berkeringat
ø       Palpitasi
ø       Tremor
ø       Gugup
ø       Pucat
ø       Lapar
·      Respon neuroglikopenik
ø       Sakit kepala
ø       Pening
ø       Kacau mental
ø       Peka rangsang
ø       Kesulitan berkonsentrasi
ø       Kerusakan penilaian
ø       Kelemahan dan kejang
ø       Koma pada kasus berat 11
Pasien diabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom HHNK, mencakup hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Nilai laboratorium dipantau untuk melihat adanya tanda hiperosmolaritas dan ketidakseimbangan elektrolit.
Pasien dikaji untuk menemukan faktor-faktor fisik yang dapat mengganggu kemampuannya dalam mempelajari melakukan keterampilan perawatan mandiri, seperti :
·     
15
Gangguan penglihatan (pasien diminta untuk membaca angka atau tulisan pada spuit insulin, lembaran menu, suratkabar, atau bahan pelajaran)
·      Gangguan koordinasi motorik (pasien diobservasi pada saat makan atau mengerjakan pekerjaan lain atau pada saat menggunakan spuit atau lanset untuk menusuk jari tangannya)
·      Gangguan neurologis (misalnya, akibat stroke) (dari riwayat penyakit yang tercantum pada bagan: pasien dikaji untuk menemukan gejala afasia atau penurunan kemampuan dalam mengikuti perintah sederhana).10
G.      Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi DM. Yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4.000 g, riwaya DM pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah puasa (Tabel 53.1), kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil penyaringannya negatif, perlu pemeriksaan penyaring ulang tiap tahun. Bagi pasien berusia 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel 53.1 kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena
Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena
Darah kapiler

<110
<90

<110
<90

110-199
90-199

110-125
90-109

>200
>200

>126
>110

Cara pemeriksaan TTGO, adalah :
1.      Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
2.      Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3.     
16
Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4.      Periksa glukosa darah puasa.
5.      Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5 menit.
6.      Periksa glukosa darah 1 jam sesudah beban glukosa.
7.      Selama pemeriksaan, pasien diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.7

Pemeriksaan hemoglobin glikosilasi
Hemoglobin glikosilasi merupakan pemeriksaan darah yang mencerminkan kadar glukosa darah rata-rata selama periode waktu 2 hingga 3 bulan. Ketika terjadi kenaikan kadar glukosa darah, molekul glukosa akan menempel pada hemoglobin dalam sel darah merah.
Ada berbagai tes yang mengukur hal yang sama tetapi memiliki nama yang berbeda, termasuk hemoglobin A1C dan hemoglobin A1. Nilai normal antara pemeriksaan yang satu dengan yang lainnya, serta keadaan laboratorium yang satu dan lainnya, memilikmi sedikit perbedaan dan biasanya berkisar dari 4% hingga 8%.
Pemeriksaan urin untuk glukosa
Pada saat ini, pemeriksaan glukosa urin hanya terbatas pada pasien yang tidak bersedia atau tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah. Prosedur yang umum dilakukan meliputi aplikasi urin pada strip atau tablet pereaksi dan mencocokkan warna pada strip dengan peta warna.
Pemeriksaan urin untuk keton
Senyawa-senyawa keton (atau badan keton) dalam urin merupakan sinyal yang memberitahukan bahwa pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes tipe I sedang mengalami kemunduran. Apabila insulin dengan jumlah yang efektif mulai berkurang, tubuh akan mulai memecah simpana lemaknya untuk menghasilkan energi. Badan keton merupakan produk-sampingan proses pemecahan lemak ini, dan senyawa-senyawa keton tersebut bertumpuk dalam darah serta urin.1
H.      Diagnosis
17
Diagnosis diabetes ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya (polidipsi, polifagi, poliuri) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan kadar gula darah yang tinggi. Untuk mengukur kadar gula darah, contoh darah biasanya diambil setelah penderita berpuasa selama 8 jam atau bisa juga diambil setelah makan. Pada usia di atas 65 tahun, paling baik sebelum mebelum dilakukan pemeriksaan adalah berpuasa terlebih dahulu karena jika pemeriksaan dilakukan setelah makan, pada usia lanjut memiliki peningkatan gula darah yang lebih tinggi. Pemeriksaan darah lainnya yang bisa dilakukan adalah tes toleransi glukosa. Tes dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya pada wanita hamil. Penderita berpuasa dan contoh darahnya diambil untuk mengukur kadar gula darah puasa. Lalu penderita meminum larutan khusus yang mengandung sejumlah glukosa dan 2-3 jam kemudian contoh darah diambil lagi untuk diperiksa.2
Keluhan atau gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl suda cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO diperlukan untuk memastikan DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperlukan glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat dan lain-lain.7
18
Ibu hamil yang memenuhi kriteria WHO untuk DM atau TGT diklasifikasikan sebagai penderita DM gestasional. Skining untuk DM gestasional tidak diperlukan pada wanita yang berusia kurang dari 25 tahun dan mempunyai resiko yang rendah. Toleransi glukosa harus diklasifikasi ulang dengan TTGO 75 gram pada 6 minggu atau lebih sesudah melahirkan. The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan skining dengan mengukur kadar glukosa plasma 1 jam sesudah pemberian oral 50 gram glukosa pada usia kehamilan antara 24 dan 28 minggu. Jika glukosa tersebut paling sedikit 7,8 mmol/l (140 mg/dl), pemeriksaan TTGO selama 3 jam penuh harus dilaksanakan. Setiap dua dari empat nilai glukosa plasma selama tes yang memenuhi atau melebihi nilai-nilai yang terlihat dibawah ini menunjukkan diagnosis DM gestasional :
Waktu                                mg/dl                               mmol/l
1 rasa                                 95                                    5,3
1 jam setelah makan          180                                  10,0
2 jam setelah makan          155                                  8,6
3 jam setelah makan          140                                  7,8
Kadar hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) merupakan indeks status glikemik selama 2-3 bulan yang lampau. Pemeriksaan ini dianjurkan sebagai alat untuk memantau pengendalian glukosa darah.4
I.         Terapi
Penatalaksaan diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5) pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikan agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pasien dengan diabetes tipe 1 adalah defisiensi insulin dan selalu membutuhka terapi insulin. Pada pasien diabetes tipe 2 terdapat resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif dan dapat ditangani tanpa insulin.1
Dalam jangka pendek penatalaksaan DM bertujuan untuk menghilangkan keluhan/gejala DM. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa, lipid, dan insulin. Untuk mempermudah tercapainya tujuan tersebut kegiatan dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan pasien secara holistik dan mengajarkan kegiatan mandiri. Umur 60 tahun keadaan, sasaran glukosa darah lebih tinggi dari pada biasa(puasa <150 mg/dl dan sesudah makan <200 mg/dl).7
Tujuan utama dari pengobatan diabetes dalah untuk mempertahankan kadar gula darah dalam kondisi normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan. Akan tetapi, semakin mendekati dalam batas yang normal maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara ataupun jangka panjang adalah semakin berkurang.
19
 
Terapi Sulih Insulin
Pada diabetes tipe I, pangkreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui  suntikan, insulin dihancurkan dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per oral (ditelan). Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. Pada saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena proses penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya. Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di lengan, paha, atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa terlalu nyeri.2
Terapi Gizi Medis
Terapi gizi medis merupaka salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. 5
Obat-obatan
Obat hipoglikemik oral (OHO) diperlukan dalam pengobatan DM tipe 2 jika intervensi gaya hidup dengan diet dan latihan fisik tidak cukup untuk mengendalikan hipeglikemia. OHO terutama terdiri atas dua tipe, yaitu prevarat insulinotrropik dan insulin sensitizer.4
Golongan sulfonilurea sering kali dapat menurunkan kadar gula darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid, dan klopropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh pangkreas dan meningkatkan efektifitasnya. Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin, tetapi meningkatkan respons tubuh terhadap insulin sendiri. Akabors bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa dalam usus.2
Latihan Fisik
20
Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetes sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya : bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemuadian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari-hari.5

J.        Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor: (1) komplikasi metabolik, dan (2) komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang
Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah ketoasodosis diabetik (DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asisosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal.1
Individu dengan ketoasidosi diabetik sering mengalami mual dan nyeri abdomen. Dapat terjadi muntah, yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar kalium total tubuh turun akibat poliuria dan muntah berkepanjangan dan muntah-muntah.3
Kompliksai Kronik Jangka Panjang
21
21
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil-mikroangiopati-dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar-makroangiopati. Mikroangiopati lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glumerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita IGT. Namun, manifestasi klinis penyakit vaskuler, retinopati atau nefropati  biasanya baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.1
*   Penyakit mata (retinopati)
Retinopati terjadi akibat penebalan membran basal kapiler, yang menyebabkan pembuluh darah mudah bocor (pendarahan dan eksudat padat), pembuluh darah tertutup (iskemia retina dan pembuluh darah baru) dan edema makula.
*   Nefropati
Lesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus (peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang menyebabkan penebalan difus pada membran basal glomerulus, bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda yang sangat akurat terhadap kerusakan vaskular secara umum dan menjadi prediktor kematian akibat penyakit kardiovaskular. Albumin persisten (albumin urin > 300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR yang normal, namun setelah terjadi protenuria berlebih (protein dalam urin > 0,5 g/24 jam), GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal ginjal.
*   Neuropati
Keadaan ini terjadi melalui beberapa mekanisme, termasuk kerusakan pada pembuluh darah kecil yang memberi nutrisi pada saraf perifer, dan metabolisme gula yang abnormal.8

22
 
K.      Prognosis
Sekitar 60 % pasien DMTI yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.7
Jika kadar gula darah tidak terkontrol, sebagian besar komplikasi jangka panjang berkembang secara progresif. Seorang obesitas yang menderita diabetes meiltus tipe II tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolahraga secara teratur. Namun, pada kebanyakan penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olahraga yang teratur.2
DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan modifikasi gaya hidup dan pengobatan selama seumur hidup. Meskipun tidak mudah dilaksanakan para pasien DM, keberadaan bentuk-bentuk terapi DM yang baru dengan penurunan komplikasi telah memberikan harapan bahwa mereka dapat menjalani kehidupan yang normal dan sehat.4















23
 
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes melitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktorial. Penyakit ini ditandai oleh hiperglikemia kronis dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein serta lemak. Patofisiologi DM berpusat pada gangguan sekresi insulin dan/atau gangguan kerja insulin tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Pada penyandang DM akan ditemukan dengan berbagai gejala seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum) dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan.
Ada empat klasifikasi Diabetes Melitus yang dikenal, yaitu: diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes gestasional (diabetes kehamilan), dan diabetes melitus  tipe khusus lain.
Untuk pemeriksaan fisik pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk memeriksa tanda-tanda ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan kussmaul, hipotensi ortostatik, dan latergi. Pasien ditanya tentang gejala ketoasidosis diabetik, seperti mual, muntah dan nyeri abdomen. Pasien diabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom HHNK, mencakup hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah puasa. Disamping itu dapat juga dilakukan pemeriksaan urin untuk mengetahui apakah terdapat banyak kandungan glukosa serta keton.
Penatalaksaan diabetes melitus didasarkan pada rencana diet, latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik, agen-agen hipoglikemik oral, terapi insulin, pengawasan glukosa di rumah, dan pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri.
Pada penderita DM dapat terjadi Komplikasi-komplikasi yang dapat dibagi menjadi dua kategori mayor: komplikasi metabolik akut misalnya ketoasidosis diabetik, dan komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang misalnya retinopati, nefropati dan neuropati.
24
 
DAFTAR PUSTAKA

1.        Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC. 1259-1268
2.        Mahdiana Ratna. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini. Yogyakarta : Tora Book. 187-199
3.        Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. 624-633
4.        Gibney, Michael J. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC. 407-418
5.        Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 1852-1865
6.        Bustan, M N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta. 101-105
7.        Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta kedokteran. Jakarta : Aesculapius. 380-387
8.        Davey, Patrick. 2005. At a Galance Medicine. Jakarta : Erlangga. 266-269
9.        Greenstein, Ben. 2006. Endocrynology At a Galance. New York : Blackwell Publishing. 85-86
10.    Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 th vol 2.  Jakarta : EGC. 1223-1264
11.    Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah vol 3. Jakarta : EGC. 534
25