PATOFISIOLOGI, FUNGSI GLUKAGON & INSULIN, MENGAPA TERJADI POLIFAGI, POLIDIPSI & POLIURI SERTA 4 TIPE REAKSI DALAM TUBUH
1. Jelaskan fugsi dari Glukagon dan Insulin! Glukagon
Glukagon adalah suatu hormon protein yang dikeluarkan oleh sel alfa pulau langerhans sebagai respon terhadap kadar glukosa darah yang rendah dan peningkatan asam amino plasma. Glukagon adalah hormon utama stadium pasca absortif pencernaan, yang terjadi selama periode puasa di antara waktu makan. Fungsi hormon ini terutama adalah katabolik (penguraian). Sebagai contoh, glokagon bekerja sebagai antagonis insulin dengan menghambat perpindahan glukosa ke dalam sel. Glukagon juga menstimulusi glukoneogenesis hati dan menyababkan penguraian simpana glikogen untuk digunakan sebagai sumber energi selain glukosa. Glukagon menstimulus penguraian lemak dan pelepasan asam lemak bebas ke dalam aliran darah, untuk digunakan sebagai sumber energi selain glukosa. Fungsi-fungsi tersebut bekerja untuk meningkatkan kadar glukosa darah.1 InsulinInsulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pangkreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai dengan kebutuhan untuk keperluan regulasi glukosa darah. Insulin berperan penting pada berbagai proses biologis dalam tubuh terutama menyangkut metabolisme karbohidrat. Hormon ini berfungsi dalam proses utilisasi glukosa pada hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak dan hepar.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin reseptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam signal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa di dalam sel otot dan lemak, dengan mekanisme
kerja yang belum begitu jelas. Beberapa hal telah diketahui, diantaranya meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) pada membran sel, karena proses translokasi GLUT-4 dari dalam sel diaktivasi oleh adanya tranduksi signal. Regulasi glukosa tidak hanya ditentukan oleh metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hati. Untuk mendapatkan metabolisme glukosa normal diperlukan mekanisme sekresi insulin disertai aksi insulin yang berlangsung normal.2
2. Mengapa pada pasin DM terjadi polidipsi, poliuri dan polifagi?
Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kada gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah lebih dari 160-180 mg/dL maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibat poliuri maka penderita merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Hal ini menyebabkan penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).33. Jelaskan 4 tipe reaksi dalam tubuh manusia! Reaksi Tipe I (Anafilaktik)
Pada reaksi tipe I (reaksi anafilaktik, reaksi hipersensitivitas tipe cepat), individu tersensitisasi oleh imunogen tertentu melalui pajanan sebelumnya. Pada kontak awal yang diproduksi adalah IgE yang kemudian beredar ke seluruh tubuh dan terfiksasi ke permukaan sel mast dan basofil. Saat tubuh kembali berkontak dengan imunogen yang sama, interaksi antar imunogen dengan antibodi yang sudah melekat ke sel mast menyebabkan pelepasan secara mendadak dan besar-besaran zat-zat proinflamasi, seperti histamin, yang terkandung dalam sel-sel tersebut. Apabila jumlah imunogen yang masuk sedikit dan di daerah yangterbatas, maka pelepasan mediatornya juga lokal. Pada situasi ini, akibatnya adalah vasodilatasi lokal disertai penigkatan permeabilitas dan pembengkakan. Reaksi ini juga menjadi dasar bagi uji kulit oleh para ahli alergi. Namun, apabila imunogen masuk dalam jumlah lebih besar dan secara intravena ke dalam orang sudah peka, maka pelepasan mediator-mediator dapat sangat banyak dan meluas dan menimbulkan reaksi anafilaktik. Yang sering menjadi penyebab reaktivitas tipe I adalah bisa serangga, serbuk sari, alergen hewan, jamur, obat, dan makanan.
Reaksi Tipe II (Sitotoksik)
Reaksi tipe II ini bersifat sitotoksik. IgG atau IgM dalam darah berikatan dengan epitop di permukaan imunogen atau antigen MHC yang disajikan dipermukaan sel. Akibat dari interaksi ini mungkin adalah percepatan fagositosis sel sasaran atau lisis sel sasaran setelah terjadi pengaktivan sistem C. Apabila sel sasaran adalah agen penginvansi, misalnya bekteri, maka hasil akhir dari reaksi ini bermamfaat bagi tubuh. Apabila sel sasaran adalah sel tubuh sendiri, misalnya eritrosit, maka akibatnya mungkin adalah suatu bentuk anemia hemolitik. Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas yang diperantarai sel dependenantigen(ADCC). Pada reaksi tipe ini, imunoglobulin yang ditujukan terhadap antigen-antigen permukaan suatu sel berikatan dengan sel tersebut. Leukosit seperti neutrofil dan makrofag memiliki reseptor untuk bagian tertentu (bagian Fc) molekul imunoglobulin tersebut kemudian berikatan dengan sel dan menghancurkannya. Contoh yang umum untuk reaksi tipe II adalah destruktif eritrosit sewaktu transfusi darah yang golongan ABO-nya tidak cocok, miastinea gravis, dan sindrom Goodpasture (serangan pada membran basal ginjal dan paru)
Reaksi Tipe III (Kompleks Imun)
Reaksi tipe III ini memiliki beberapa bentuk tapi kahirnya akan diperantarai kompleks imun (kompleks imunogen dengan imunoglobulin, biasanya IgG) yang mengendap di jaringan, arteri dan vena. Contoh reaksi tipe ini yang banyak dipelajari adalah reaksi arthus. Secara klasik, reaksi ini ditimbulkan mula-mula dengan mensensitisasi seseorang dengan protein asing. Kemudian orang tersebut diberikan suntikan imunogen yang sama secara intradermis. Reaksi muncul dalam beberapa jam, dengan awal berupa pembengkakan dan kemerahan di tempat suntikan yang akhirnya mengalami nekrosis dan hemoragi pada reaksi yang parah. Reaksi Tipe IV (Selular)
Reaksi tipe IV (reaksi yang diperantarai oleh sel, reaksi hepersensitivitas tipe lambat) diperantarai oleh kontak dengan sel-sel T yang telah tersensifisasi dengan imunogen yang sesuai. Sel-sel CD4 (sel T penolong) melepaskan sitokin yang mearik dan merangsang makrofag untuk membebaskan mediator-mediator peradangan. Apabila imunogen menetap. Maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat berkembang menjadai granulomatosa kronik misalnya berkumpulnya sel-sel mononukleus dan di daerah kerusakan jaringan.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
2. Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI
3. Mahdiana Ratna. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini. Yogyakarta : Tora Book
Reaksi tipe II ini bersifat sitotoksik. IgG atau IgM dalam darah berikatan dengan epitop di permukaan imunogen atau antigen MHC yang disajikan dipermukaan sel. Akibat dari interaksi ini mungkin adalah percepatan fagositosis sel sasaran atau lisis sel sasaran setelah terjadi pengaktivan sistem C. Apabila sel sasaran adalah agen penginvansi, misalnya bekteri, maka hasil akhir dari reaksi ini bermamfaat bagi tubuh. Apabila sel sasaran adalah sel tubuh sendiri, misalnya eritrosit, maka akibatnya mungkin adalah suatu bentuk anemia hemolitik. Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas yang diperantarai sel dependenantigen(ADCC). Pada reaksi tipe ini, imunoglobulin yang ditujukan terhadap antigen-antigen permukaan suatu sel berikatan dengan sel tersebut. Leukosit seperti neutrofil dan makrofag memiliki reseptor untuk bagian tertentu (bagian Fc) molekul imunoglobulin tersebut kemudian berikatan dengan sel dan menghancurkannya. Contoh yang umum untuk reaksi tipe II adalah destruktif eritrosit sewaktu transfusi darah yang golongan ABO-nya tidak cocok, miastinea gravis, dan sindrom Goodpasture (serangan pada membran basal ginjal dan paru)
Reaksi Tipe III (Kompleks Imun)
Reaksi tipe III ini memiliki beberapa bentuk tapi kahirnya akan diperantarai kompleks imun (kompleks imunogen dengan imunoglobulin, biasanya IgG) yang mengendap di jaringan, arteri dan vena. Contoh reaksi tipe ini yang banyak dipelajari adalah reaksi arthus. Secara klasik, reaksi ini ditimbulkan mula-mula dengan mensensitisasi seseorang dengan protein asing. Kemudian orang tersebut diberikan suntikan imunogen yang sama secara intradermis. Reaksi muncul dalam beberapa jam, dengan awal berupa pembengkakan dan kemerahan di tempat suntikan yang akhirnya mengalami nekrosis dan hemoragi pada reaksi yang parah. Reaksi Tipe IV (Selular)
Reaksi tipe IV (reaksi yang diperantarai oleh sel, reaksi hepersensitivitas tipe lambat) diperantarai oleh kontak dengan sel-sel T yang telah tersensifisasi dengan imunogen yang sesuai. Sel-sel CD4 (sel T penolong) melepaskan sitokin yang mearik dan merangsang makrofag untuk membebaskan mediator-mediator peradangan. Apabila imunogen menetap. Maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat berkembang menjadai granulomatosa kronik misalnya berkumpulnya sel-sel mononukleus dan di daerah kerusakan jaringan.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
2. Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI
3. Mahdiana Ratna. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini. Yogyakarta : Tora Book
4. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar