DIABETES MELITUS (DM)
A.
Defenisi
Diabetes
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”
(siphon). Melitus dalam bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit
diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang
banyak dengan kadar glukosa tinggi.3
Diabetes
Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk
heterogen dengan menifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah
berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia
puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati,
dan neuropati. 1
Diabetes
melitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktorial.
Penyakit ini ditandai oleh hiperglikemia kronis dan mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein serta lemak. Patofisiologi DM berpusat pada gangguan
sekresi insulin dan/atau gangguan kerja insulin. Penyandang DM akan ditemukan
dengan berbagai gejala seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak
minum) dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan.4
B.
Epidemiologi
Di
antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit
tidak menular yang akan meningkatkan jumlahnya di masa yang akan datang.
Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan uma manusia
pada abad 21. Perserikaaan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada
tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang.5
3
|
Prevalensi
DM di Indonesia mencapai jumlah 8.426.000 (tahun 2000) yang diproyeksikan
mencapai 21.257.000 pada tahun 2030. Artinya, terjadi kenaikan tiga kali lipat
dalam 30 tahun.6
Sebagai
dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam kurun waktu
60 tahun merdeka, pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseran yang cukup
meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, meskipu
diakui bahwa angka penyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan timbulnya
penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS, juga angka kesakitan TBC yang
tampaknya masih tinggi dan akhir-akhir ini flu burung, demam berdarah dengue
(DBD) antraks dan polio melanda negara yang kita cintai ini. Di lain pihak
penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, di antaranya
diabetes meningkat tajam. Perubahan pola penyakit iitu diduga ada hubungannya
dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari
pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari
sayuran, ke pola makan ke barat-baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu
banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat.
Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap santap yang
akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda.5
C.
Etiopatogenesis
4
|
Diabetes melitus tipe 1
adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala
yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang
memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan
respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus,
dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan
berkurangnya sekresi insulin yang dirangsan oleh glukosa. Manifestasi klinis
diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta rusak. Bukti untuk
determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe
histokompabilitas (human leukocyte
antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari gen histokompabilitas yang berkaitan
dengan diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4) adalah yang memberi kode pada
protein-protein yang berperan penting dalam monosit-limposit. Protein-protein
ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari respon imun. Jika
terjadi kelainan, fungsi limposit T yang terganggu akan berperan penting dalam
patogenesis perusakan sel-sel pulau langerhans. 1
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
atau Diabetes melitus Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β
pulau Langerhans akibat proses autoimun.7
Ini
adalah penyakit yang jarang terjadi, terutama mengenai penduduk Eropa utara
yang berkulit putih (25/10.000 populasi), di mana gejala timbul pada usia
<30 tahun, dan terjadi defisiensi insulin absolut setelah sel β pangkreas
dihancurkan oleh proses autoimun pada orang-orang yang memiliki predisposisi
secara genetis.8
5
|
Diabetes
tipe 1 diperkirakan terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau
langerhans. Individu yang memiliki kecendrungan genetik penyakit ini tampaknya
menerima faktor pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses otoimun.
Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti
gondongan (mumps), rubela, atau sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajana terhadap
obat atau toksin juga disuga dapat
memicu serangan otoimun ini. Karena proses penyakit diabetes tipe 1
terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor pencetus yang pasti.
Pada saat diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap
sel-sel pulau langerhans pada sebagian besar pasien. Mengapa individu membentuk
antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans sebagai respon terhadap faktor
pencetus tidak diketahui. Salah satu mekanisme yang kemungkinan adalah bahwa
terdapat agens lingkungan yang secara genetis mengubah sel-sel pangkreas
sehingga menstimulus pembentukan autoantibodi. Kemungkinan lain bahwa para
individu yang mengidap diabetes tipe 1 memiliki kesamaan antigen antara sel-sel
beta pangkreas mereka dan mikroorganisme atau obat tertentu. Sewaktu berespons
terhadap virus atau obat, sistem imun mungkin gagal mengenali bahwa sel
pangkreas adalah "diri”, mereka sendiri.3
Diabetes melitus tipe 2
merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi, mencakup 85% pasien
diabetes. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif. Mekanisme resistensi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum
jelas. Walaupun terdapat sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor insulin
yang ditemukan, namun pada beberapa kasus yang berhubungan sindrom resistensi
insulin yang jelas, hal ini jarang terjadi dan tidak menjelaskan
hiperinsulinemia yang terjadi pada sebagaian besar pasien dengan diabetes tipe
2. Konsekuensi hiperensulinemia yang berkepanjangan adalah terjadinya
defisiensi insulin.9
6
|
Penyakit
ini sering ditemukan (prevalensi saat ini adalah 2% di Inggris dan 6,6% di AS,
dan meningkat dengan pesat akibat faktor gaya hidup/diet) pada usia menengah
dan manula, diakibatkan terutama oleh resistensi terhadap kerja insulin di
jaringan perifer. Walaupun pada tahap lanjut defisiensi insulin dapat terjadi,
namun tidak ditemukan dafisiensi absolut insulin. Penyakit ini juga dipengaruhi
faktor genetik. Pada kembar identik tingkat kesamaannya adalah 90%, namun tidak
ada kaitannya dengan antigen leukosit manusia (human leukocyte antigen [HLA]).8
Pada
pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola
familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir
100%. Resiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40%
dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh
terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe
penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua
menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1,
dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2.1
7
|
D.
Klasifikasi
Beberapa
klasifikasi diabetes melitus telah diperkenalkan, berdasarkan metode presentase
klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit. Kotak 63-1 menjelaskan klasifikasi
yang diperkenalkan oleh American Diabetes
Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mengenai patogenesis sindrom
diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan
telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi
glukosa : (1) diabetes melitus tipe 1 dan 2, (2) diabetes gestasional (diabetes
kehamilan), dan (3) tipe khusus lain. Dua kategori lain dari dari toleransi
glukosa abnormal adalah gangguan toleransi glukosa dan gangguan glukosa puasa.1
1. Diabetes
tipe 1
8
|
Insidensi
diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapt dibagi
dalam dua sub tipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan
sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak
diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan
Afrika-Amerika dan Asia.1
Pengidap
diabetes tipe 1 memperlihatkan kadar glukosa normal sebelum yang terkendali
awitan penyakit muncul. Pada masa dahulu, diabetes tipe 1 dianggap penyakit
yang terjadi tiba-tiba dengan sedikit tanda peringatan. Akan tetapi, saat ini,
diabetes tipe 1 adalah penyakit yang biasanya berkembang secara perlahan selama
beberapa tahun, dengan adanya autoantibodi terhadap sel-sel beta destruksi yang
terjadi secara terus-menerus pada diagnosis lanjut. Pada saat diagnosis tipe 1
ditegakkan, biasanya pangkreas tidak atau sedikit mengeluarkan insulin, dan
lebih dari 80% sel beta pangkres telah dihancurkan. Kadar glukosa darah
meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk ke sel. Pada saat yang
sama, hati mulai melakukan glukoneogenesis (sintesis glukosa baru) menggunakan
subtrat yang ter sedia seperti sam amino, asam lemak dan glikogen.
Subtrat-subtrat ini mempunyai konsentrasi yang tinggi dalam sirkukalsi karena
efek katabolik glukagon tidak dilawan oleh insulin. Hal ini yang menyebabkan
sel-sel mengalami kelaparan walaupun kadar glukosa darah sangat tinggi. Hanya
sel otak dan sel darah merah yang tidak kekurangan glukosa karena keduanya
tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa.3
2. Diabetes
tipe 2
9
|
Diabetes
tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe
nondependen insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap
tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini.
3. Diabetes
gestasional
Diabetes
gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan memengaruhi 4%
dari semua kehamilan. Faktor resiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik,
obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional
terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai
efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu
diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik
mungkin akan memperlihatkan toleransi inglukosa atau manifestasi klinis
diabetes pada kehamilan.1
DM
gestasional merupakan intoleransi karbohidrat yang mengakibatkan hiperglikemia
dengan keparahan yang beragam dan onset atau deteksi pertama kali pada saat
hamil. Defenisi ini berlaku tanpa memandang apakah hormon insulin digunakan
atau tidak dalam penanganannya ataukah keadaan tersebut tetap bertahan setelah
kehamilan berakhir. Intoleransi glukosa dapat mendahului kehamilan tetapi
keadaan ini tidak diketahui sebelumnya.4
Meskipun
diabetes tipe ini sering membaik setelah persalinan, sekitar 50% wanita
pengidap ini tidak akan kembali ke status nondiabetes setelah kehamilan
berakhir. Bahkan, jika membaik setelah persalinan, resiko untuk mengalami
diabetes tipe 2 setelah sekitar 5 tahun II pada waktu mendatang lebih besar
daripada normal.3
4. Tipe
khusus lain
10
|
E.
Gambaran
Klinik dan Patofisiologi
Kejadian
DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai penyebab utama. Di sis lain
timbulnya DM bisa berasal dengan kekurangan insulin yang bersifat relatif yang
disebabkan oleh adanya resistensi insulin (insuline
resistance). Keadaan ini ditandai dengan ketidakrentanan/ketidakmampuan
organ menggunakan insulin, sihingga insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam
mengatur metabolisme glukosa. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat
(hiperglikemia).6
Gejala
awal berhubungan dengan efek langsung dari kada gula darah yang tinggi. Jika
kadar gula darah lebih dari 160-180 mg/dL maka glukosa akan sampai ke air
kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air
kemih dalam jumlah yang berlebihan maka penderita sering berkemih dalam jumlah
yang banyak (poliuri). Akibat poliuri
maka penderita merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang
ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Hal ini
menyebabkan penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga
banyak makan (polifagi).2
11
|
Gejala
lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual, dan berkurangnya ketahanan selama
olahraga. Penderita diabetes yang kurang
terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat
maka sebelum mengalami pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu
mengalami penurunan berat badan. Pada sebagian besar penderita diabetes tipe II
tidak mengalami penurunan berat badan.2
Pada
pasien diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif
dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen
yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi
sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapat
pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol
metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya, pasien
dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien
tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka
tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara
absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup
untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak
berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obatan hipoglikemik oral, mungkin
diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini
biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas periver terhadap insulin. Kadar
insulin sendiri pada pasien mungkin berkurang, normal atau malah tinggi, tetapi
tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita
juga resistensi terhadap insulin eksogen.1
12
|
Dalam
keadaan yang normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa
yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam
amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini
akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Di
samping itu akan terjadi pemecahan lemak yang meningkatkan produksi bahan keton
yang merupakan produk samping pemecahan lemak.10
Penderita
diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun.
Jika kekurangan insulin semakin parah maka timbullah gejala berupa sering
berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula
darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat
stres, misalnya infeksi atau obat-obatan) maka penderita akan mengalami
dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang, dan
suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar nonketotik.2
13
|
Meskipun
terhjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya, karena itu,
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian,
diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemih hiperosmoler nonketotik (HHNK).10
Individu
pengidap diabetes tipe 2 sering memperlihatkan satu atau lebih gejala
non-spesifik, antara lain :
· Peningkatan
angka infeksi akibat peningkatan kadar glukosa di sekitar mukus, gangguan
fungsi imun, dan penurunan aliran darah.
· Gangguan
penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau, pada kasus yang
lebih berat, kerusakan retina.
· Paretesia,
atau abnormalitas sensasi.
· Kandidiasis
vagina (infeksi ragi), akibat peningkatan kadar glukosa di sekitar vagina dan
urine, serta gannguan fungsi imun. Kandidiasi dapat menyebabkan rasa gatal di
vagina. Infeksi vagina merupakan kondisi yang sering dijumpai pada wanita yang
sebelumnya tidak diduga menderita diabetes.
· Pelisutan
otot dapat terjadi karena protein otot digunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi tubuh.3
F.
Pemeriksaan
Fisik
14
|
Pemeriksaan fisik
selama episode hipoglikemik menunjukkan :
· Respon
autonomik
ø Berkeringat
ø Palpitasi
ø Tremor
ø Gugup
ø Pucat
ø Lapar
· Respon
neuroglikopenik
ø Sakit
kepala
ø Pening
ø Kacau
mental
ø Peka
rangsang
ø Kesulitan
berkonsentrasi
ø Kerusakan
penilaian
ø Kelemahan
dan kejang
ø Koma
pada kasus berat 11
Pasien
diabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom HHNK, mencakup
hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Nilai laboratorium
dipantau untuk melihat adanya tanda hiperosmolaritas dan ketidakseimbangan
elektrolit.
Pasien
dikaji untuk menemukan faktor-faktor fisik yang dapat mengganggu kemampuannya
dalam mempelajari melakukan keterampilan perawatan mandiri, seperti :
·
15
|
· Gangguan
koordinasi motorik (pasien diobservasi pada saat makan atau mengerjakan
pekerjaan lain atau pada saat menggunakan spuit atau lanset untuk menusuk jari tangannya)
· Gangguan
neurologis (misalnya, akibat stroke) (dari riwayat penyakit yang tercantum pada
bagan: pasien dikaji untuk menemukan gejala afasia atau penurunan kemampuan
dalam mengikuti perintah sederhana).10
G.
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi DM. Yaitu kelompok
usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat
keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4.000 g, riwaya
DM pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah puasa (Tabel 53.1),
kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk
kelompok resiko tinggi yang hasil penyaringannya negatif, perlu pemeriksaan
penyaring ulang tiap tahun. Bagi pasien berusia 45 tahun tanpa faktor resiko,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel
53.1 kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai
patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM
|
Belum
pasti DM
|
DM
|
|
Kadar
glukosa darah sewaktu
Plasma
vena
Darah
kapiler
Kadar
glukosa darah puasa
Plasma
vena
Darah
kapiler
|
<110
<90
<110
<90
|
110-199
90-199
110-125
90-109
|
>200
>200
>126
>110
|
Cara pemeriksaan TTGO,
adalah :
1. Tiga
hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
2. Kegiatan
jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3.
16
|
4. Periksa
glukosa darah puasa.
5. Berikan
glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5 menit.
6. Periksa
glukosa darah 1 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama
pemeriksaan, pasien diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.7
Pemeriksaan
hemoglobin glikosilasi
Hemoglobin
glikosilasi merupakan pemeriksaan darah yang mencerminkan kadar glukosa darah
rata-rata selama periode waktu 2 hingga 3 bulan. Ketika terjadi kenaikan kadar
glukosa darah, molekul glukosa akan menempel pada hemoglobin dalam sel darah
merah.
Ada
berbagai tes yang mengukur hal yang sama tetapi memiliki nama yang berbeda,
termasuk hemoglobin A1C dan hemoglobin A1. Nilai normal
antara pemeriksaan yang satu dengan yang lainnya, serta keadaan laboratorium
yang satu dan lainnya, memilikmi sedikit perbedaan dan biasanya berkisar dari
4% hingga 8%.
Pemeriksaan
urin untuk glukosa
Pada
saat ini, pemeriksaan glukosa urin hanya terbatas pada pasien yang tidak
bersedia atau tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah. Prosedur
yang umum dilakukan meliputi aplikasi urin pada strip atau tablet pereaksi dan
mencocokkan warna pada strip dengan peta warna.
Pemeriksaan
urin untuk keton
Senyawa-senyawa
keton (atau badan keton) dalam urin merupakan sinyal yang memberitahukan bahwa
pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes tipe I sedang mengalami kemunduran.
Apabila insulin dengan jumlah yang efektif mulai berkurang, tubuh akan mulai
memecah simpana lemaknya untuk menghasilkan energi. Badan keton merupakan
produk-sampingan proses pemecahan lemak ini, dan senyawa-senyawa keton tersebut
bertumpuk dalam darah serta urin.1
H.
Diagnosis
17
|
Keluhan
atau gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dl atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl suda cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO
diperlukan untuk memastikan DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa lainnya diperlukan glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Konfirmasi
tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat dan lain-lain.7
18
|
Waktu mg/dl mmol/l
1
rasa 95 5,3
1
jam setelah makan 180 10,0
2
jam setelah makan 155 8,6
3
jam setelah makan 140 7,8
Kadar
hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) merupakan indeks status glikemik
selama 2-3 bulan yang lampau. Pemeriksaan ini dianjurkan sebagai alat untuk
memantau pengendalian glukosa darah.4
I.
Terapi
Penatalaksaan
diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik dan
pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi
insulin, (5) pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes
dan perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai
pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikan agar tercapai kontrol metabolik
yang optimal. Pasien dengan diabetes tipe 1 adalah defisiensi insulin dan
selalu membutuhka terapi insulin. Pada pasien diabetes tipe 2 terdapat
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif dan dapat ditangani tanpa
insulin.1
Dalam
jangka pendek penatalaksaan DM bertujuan untuk menghilangkan keluhan/gejala DM.
Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi. Tujuan
tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa, lipid, dan insulin.
Untuk mempermudah tercapainya tujuan tersebut kegiatan dilaksanakan dalam
bentuk pengelolaan pasien secara holistik dan mengajarkan kegiatan mandiri.
Umur 60 tahun keadaan, sasaran glukosa darah lebih tinggi dari pada biasa(puasa
<150 mg/dl dan sesudah makan <200 mg/dl).7
Tujuan
utama dari pengobatan diabetes dalah untuk mempertahankan kadar gula darah
dalam kondisi normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk
dipertahankan. Akan tetapi, semakin mendekati dalam batas yang normal maka
kemungkinan terjadinya komplikasi sementara ataupun jangka panjang adalah
semakin berkurang.
19
|
Terapi
Sulih Insulin
Pada
diabetes tipe I, pangkreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus
diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan
melalui suntikan, insulin dihancurkan
dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per oral (ditelan). Bentuk insulin
yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. Pada saat ini, bentuk
insulin yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena proses
penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya.
Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di lengan,
paha, atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa
terlalu nyeri.2
Terapi
Gizi Medis
Terapi
gizi medis merupaka salah satu terapi non farmakologi yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada
prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. 5
Obat-obatan
Obat
hipoglikemik oral (OHO) diperlukan dalam pengobatan DM tipe 2 jika intervensi
gaya hidup dengan diet dan latihan fisik tidak cukup untuk mengendalikan
hipeglikemia. OHO terutama terdiri atas dua tipe, yaitu prevarat
insulinotrropik dan insulin sensitizer.4
Golongan
sulfonilurea sering kali dapat menurunkan kadar gula darah secara adekuat pada
penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I. Contohnya
adalah glipizid, gliburid, tolbutamid, dan klopropamid. Obat ini menurunkan
kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh pangkreas dan
meningkatkan efektifitasnya. Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi
pelepasan insulin, tetapi meningkatkan respons tubuh terhadap insulin sendiri.
Akabors bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa dalam usus.2
Latihan
Fisik
20
|
J.
Komplikasi
Komplikasi-komplikasi
diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor: (1) komplikasi
metabolik, dan (2) komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang
Komplikasi
Metabolik Akut
Komplikasi
metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi
glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1
adalah ketoasodosis diabetik (DKA).
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan
glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan
oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan
ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan
asisosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat
penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal.1
Individu
dengan ketoasidosi diabetik sering mengalami mual dan nyeri abdomen. Dapat
terjadi muntah, yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar kalium
total tubuh turun akibat poliuria dan muntah berkepanjangan dan muntah-muntah.3
Kompliksai
Kronik Jangka Panjang
21
|
21
|
Penyakit mata (retinopati)
Retinopati terjadi
akibat penebalan membran basal kapiler, yang menyebabkan pembuluh darah mudah
bocor (pendarahan dan eksudat padat), pembuluh darah tertutup (iskemia retina
dan pembuluh darah baru) dan edema makula.
Nefropati
Lesi awalnya adalah
hiperfiltrasi glomerulus (peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang
menyebabkan penebalan difus pada membran basal glomerulus, bermanifestasi
sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda
yang sangat akurat terhadap kerusakan vaskular secara umum dan menjadi
prediktor kematian akibat penyakit kardiovaskular. Albumin persisten (albumin
urin > 300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR yang normal, namun setelah
terjadi protenuria berlebih (protein dalam urin > 0,5 g/24 jam), GFR menurun
secara progresif dan terjadi gagal ginjal.
Neuropati
Keadaan ini terjadi
melalui beberapa mekanisme, termasuk kerusakan pada pembuluh darah kecil yang
memberi nutrisi pada saraf perifer, dan metabolisme gula yang abnormal.8
22
|
K.
Prognosis
Sekitar
60 % pasien DMTI yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang
normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan
untuk meninggal lebih cepat.7
Jika
kadar gula darah tidak terkontrol, sebagian besar komplikasi jangka panjang
berkembang secara progresif. Seorang obesitas yang menderita diabetes meiltus
tipe II tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya
dan berolahraga secara teratur. Namun, pada kebanyakan penderita merasa
kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olahraga yang teratur.2
DM
merupakan penyakit kronis yang memerlukan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
selama seumur hidup. Meskipun tidak mudah dilaksanakan para pasien DM,
keberadaan bentuk-bentuk terapi DM yang baru dengan penurunan komplikasi telah
memberikan harapan bahwa mereka dapat menjalani kehidupan yang normal dan
sehat.4
23
|
BAB
III
KESIMPULAN
Diabetes melitus
(DM) merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktorial. Penyakit ini
ditandai oleh hiperglikemia kronis dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat,
protein serta lemak. Patofisiologi DM berpusat pada gangguan sekresi insulin
dan/atau gangguan kerja insulin tetapi determinan genetik biasanya memegang
peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Pada penyandang DM
akan ditemukan dengan berbagai gejala seperti poliuria (banyak berkemih),
polidipsia (banyak minum) dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat
badan.
Ada empat
klasifikasi Diabetes Melitus yang dikenal, yaitu: diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, diabetes gestasional (diabetes kehamilan), dan
diabetes melitus tipe khusus lain.
Untuk
pemeriksaan fisik pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk
memeriksa tanda-tanda ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan kussmaul,
hipotensi ortostatik, dan latergi. Pasien ditanya tentang gejala ketoasidosis
diabetik, seperti mual, muntah dan nyeri abdomen. Pasien diabetes tipe II
dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom HHNK, mencakup hipotensi,
gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah puasa.
Disamping itu dapat juga dilakukan pemeriksaan urin untuk mengetahui apakah
terdapat banyak kandungan glukosa serta keton.
Penatalaksaan
diabetes melitus didasarkan pada rencana diet, latihan fisik dan pengaturan
aktivitas fisik, agen-agen hipoglikemik oral, terapi insulin, pengawasan
glukosa di rumah, dan pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri.
Pada penderita
DM dapat terjadi Komplikasi-komplikasi yang dapat dibagi menjadi dua kategori
mayor: komplikasi metabolik akut misalnya ketoasidosis diabetik, dan
komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang misalnya retinopati, nefropati
dan neuropati.
24
|
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC. 1259-1268
2.
Mahdiana Ratna. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini.
Yogyakarta : Tora Book. 187-199
3.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
624-633
4.
Gibney, Michael J. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC.
407-418
5.
Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 1852-1865
6.
Bustan, M N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta.
101-105
7.
Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta kedokteran. Jakarta :
Aesculapius. 380-387
8.
Davey, Patrick. 2005. At a Galance Medicine. Jakarta :
Erlangga. 266-269
9.
Greenstein, Ben. 2006. Endocrynology At a Galance. New York :
Blackwell Publishing. 85-86
10.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8
th vol 2. Jakarta : EGC. 1223-1264
11.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah vol
3. Jakarta : EGC. 534
25
|
Thankyou membantu banget
BalasHapusIya, sama2..
BalasHapusjoya shoes 590u9egduv652 joya sko,joya sko,joya skor,Cipő joya,zapatos joya,joya schoenen verkooppunten,Scarpe joya,chaussures joya,joya schuhe wien,joya schuhe joya shoes 071j7qmnlz916
BalasHapus