Cari Blog Ini

Senin, 06 Maret 2017

Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease/CKD)




BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A.    Definisi
Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yang luas, kronik dan akut. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau beberapa minggu.
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagaikerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulusfiltration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). CKD atau gagal ginjal kronis (GGK)didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalammempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadiuremia atau azotemia (Smeltzer, 2009)
Kriteria penyakit ginjal kronik antara lain :
a.       Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),  dengan manifestasi:
·         Kelainan patologis
·         Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests).
b.      Laju filtrasi glomerulus  (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
B.     Etiologi
Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan di luar ginjal.4
1.      Penyakit dari ginjal
a.       Penyakit pada saringan (glomerulonefritis)
b.      Infeksi kuman (pyelonefritis, ureteritis)
c.       Batu ginjal (nefrolitiasis)
d.      Kista di ginjal (policystis kidney)
e.       Trauma langsung pada ginjal
f.       Keganasan pada ginjal
g.      Sumbatan : batu, tumor, penyempitan/striktur
2.      Penyakit umum diluar ginjal
a.       Penyakit sistemik : diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi
b.      Dyslipidemia
c.       SLE
d.      Infeksi di badan : TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis
e.       Preeklamsi
f.       Obat-obatan
g.      Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar).
C.    Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat
Penjelasan
LFG(ml/mnt/1,73m²)
1
2
3
4
5
 Kerusakan ginjal dengan LFG normal        atau ↑
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan

Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang
 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat
 Gagalginjal
> 90
60-89
30-59
15- 29
< 15 atau dialisis

D.    Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
E.     Manifestasi Klinik
Gagal ginjal kronik, sesuai definisinya, berkembang lambat dan biasanya datang dengan letargi, malaise umum, anoreksia, dan mual. Pruritus menyeluruh sering ditemukan. Impotensi, menstruasi tidak teatur,dan hilangnya fertilitas adalah keluhan yang umum pada pasien dengan usia lebih muda. Pada uremia berat terdapat bau amis yang khas, cegukan, muntah, proritus berat disertai ekskoriasi kulit, pigmentasi kulit, neuropati perifer, dan gangguan sistem saraf pusat yang menyebabkan letargi, stupor, dan koma yang disertai kejang. Perikarditis bisa berhubungan dengan efusi dan tamponade.
Karena pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yag mendasari, dan usia pasien.
Manifestasi kardiovaskuler, pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif, dan edema pulmoner (akibat cairan berlebih), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksin uremik).
Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah (pruritis). Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat ini jarang terjadi akibat penanganan yang dini dan agresif pada penyakit ginjal tahap-akhir. Gejala gastrointestinal juga sering terjadi dan mencakup anoreksia, mual, muntah, dan cegukan. Perubahan neuromuskuler mencakup perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi, kedutan otot, dan kejang.

F.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium
Sementara massa nefron dan fungsi ginjal berkurang, ginjal tidak mampu mengatur cairan, elektrolit, dan sekresi hormone.
a.       Natrium. Bila GFR turun di bawah 20-25 mL/menit, ginjal menjadi tak mampu mengekskresi beban natrium ataupun menyimpan natrium; ini sering menyebabkan retensi natrium dengan akibat edema, hipertensi, dan gagal jantung kongestif.
b.      Air. Sementara fungsi ginjal memburuk, kemampuan ginjal untuk memekatkan dan mengencerkan urin menjadi terganggu, dan kadar urin menjadi isotonik. Tetapi, mekanisme rasa haus yang masih utuh biasanya dapat mempertahankan keseimbangan air sampai perjalanan penyakit telah lanjut.
c.        Kalium. Keseimbangan kalium dipertahankan oleh peningkatan sekresi di tubulus distal dan peningkatan ekskresi gastrointestinal lewat peningkatan kadar aldosteron.

d.      Keseimbangan asam-basa.
a.       Asidosis hiperkloremik. Asidosis metabolik hiperkloremik tanpa celah anion (nonanion gap) dapat terjadi pada awal gagal ginjal, terutama pada pasien dengan penyakit tubulointerstisial yang kronis. Ini terjadi karena ginjal tidak mampu meningkatkan produksi amonia dan ekskresi ion hidrogen.
b.      Asidosis dengan kenaikan celah anion. Asidosis metabolik celah anion terjadi akibat akumulasi anion fosfat dan sulfat yang tak terukur.8
e.       Kalsium, fosfor, dan magnesium. Hipokalsemia terjadi akibat menurunnya produksi 1,25-dihidroksikolekalsiferol (vitamin D) oleh ginjal, yang menyebabkan berkurangnya absorbsi kalsium oleh sistem gastrointestinal. Sementara GFR menurun, ekskresi fosfat juga berkurang, mengakibatkan peningkatan fosfor serum. Hiperfosfatemia juga menyebabkan berkurangnya kadar ion kalsium dalam serum. Hipokalsemia merangsang sekresi hormon paratiroid (PTH), yang mengakibatkan reabsorbsi tulang dan pembebasan kalsium dari tulang, mengakibatkan penyakit tulang hiperparatiroid (osteitis fibrosa). Hipermagnesemia biasanya ringan dan asimtomatis.8
f.       Anemia. Anemia umumnya terjadi akibat menurunnya eritropoetin pada ginjal. Sediaan apus darah tepi mengungkapkan anemia normokromik, normositik dengan sedikit sel burr dan sel helmet.
2.      Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a.       Foto polos abdomen, biasa tampak batu radio-opak
b.      Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan2
c.       Pielografi antegrad atau retograd dilakukan sesuai indikasi
d.      Ultrasonografi ginjal
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
e.       Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
3.      Pemeriksaan Biopsi ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, di mana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasikontra dilakukan pada keadaan di mana ukuran ginjal yang sudah mengecil ( contracted kidney ), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas
G.    Komplikasi
1.         Penyakit tulang. Hipokalsemia akibat penurunan sintesis 1,25-(OH)2D3, hiperfosfatemia, dan resistensi terhadap kerja PTH di perifer, semuanya turut menyebabkan penyakit tulang renal.
2.         Penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular adalah penyebab mortalitas tertinggi pada pasien gagal ginjal kronis.
3.         Anemia. Kadar eritropoetin dalam sirkulasi rendah. Eritropoetin rekombinan parenteral meningkatkan kadar hemoglobin, memperbaiki toleransi terhadap aktivitas fisik, dan mengurangi kebutuhan transfusi darah.
4.         Disfungsi seksual. Menurunnya libido dan impotensi sering terjadi. Hiperprolaktinemia ditemukan pada setidaknya sepertiga jumlah pasien, menyebabkan efek inhibisi sekresi gonadotropin.
H.    Penatalaksanaan
1.      Manfaat obat dalam terapi penyakit ginjal kronik
a.       Diuretik
Diuretik (obat untuk meningkatkan pengeluaran urine) membantu pengeluaran kelebihan cairan dan elektrolit dari tubuh, serta bermanfaat membantu menurunkan tekanan darah.
b.      Obat antihipertensi
Sebagian besar penderita penyakit ginjal kronik mengalami tekanan darah tinggi. Oleh karena itu, diperlukan obat antihipertensi untuk mempertahankan agar tekanan darah tetap dalam batas normal dan dengan demikian, akan memperlambat proses kerusakan ginjal yang diakibatkan oleh tingginya tekanan darah.
c.       Eritropoietin (Epo)
Salah satu fungsi ginjal yaitu menghasilkan hormone eritropoietin (Epo). Hormone ini bekerja merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel-sel darah merah. Penyakit ginjal kronik menyebabkan produksi hormon Epo mengalami penurunan sehingga menimbulkan anemia. Oleh karena itu, Epo perlu digunakan untuk mengatasi anemia yang diakibatkan oleh penyakit ginjal kronik. Epo biasanya diberikan dengan cara injeksi 1-2 kali/minggu.
d.      Zat besi
Zat besi (ferrous sulphate) sering kali bermanfaat untuk membantu mengatasi anemia yang diakibatkan kekurangan Fe pada pasien dengan penyakit ginjal kronik. Suplemen zat besi diberikan dalam bentuk tablet atau injeksi.
e.       Suplemen kalsium dan kalsitriol
Pada penyakit ginjal kronik, kadar kalsium dalam darah menjadi rendah, sebaliknya kadar fosfat dalam darah menjadi terlalu tinggi. Untuk mengatasi ketidakseimbangan mineral ini, diperlukan kombinasi obat/suplemen yaitu kalsitriol (vitamin D bentuk aktif) dan kalsium.
2.      Modifikasi gaya hidup
1)      Diet
Perencanaan menu makanan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi. Kebutuhan akan zat gizi ini berbeda-beda, tergantung stadium penyakit ginjal kronik yang dialami. Secara umum, penderita penyakit ginjal kronik dianjurkan untuk ; diet rendah garam (sodium) yang bermanfaat membantu mengendalikan tekanan darah dan mencegah tertimbunnya kelebihan cairan tubuh, dan diet rendah fosfat (800-1000 mg/hari).
2)      Olahraga
Olahraga bermanfaat membantu mengendalikan kadar gula darah, menurunkan kadar kolesterol darah, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi kelebihan berat badan. Selain dari segi fisik, olahraga juga berpengaruh positif terhadap kesehatan mental dan emosional.
3)      Menjaga berat badan dalam batas normal
Mengurangi kelebihan berat badan dapat membantu menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterol/lemak darah. Sebagai pedoman, indeks massa tubuh (body mass index) normal yang dianjurkan : 18,5 sampai dengan 24,9 kg/m2.
4)      Berhenti merokok
Merokok dapat mengakibatkan kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga kolesterol mudah tersangkut dan membentuk timbunan plak pada dinding pembuluh darah. Endapan kolesterol menyebabkan dinding pembuluh darah menebal dan mengeras sehingga rongga pembuluh darah mengalami penyempitan. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya aliran darah yang menuju ginjal dan meningkatnya tekanan darah. Oleh karena itu, individu dengan penyakit ginjal kronik yang memiliki kebiasaan merokok, sangat di anjurkan untuk sedapat mungkin berhenti merokok.
3.      Non farmakologis
a.       Pengaturan asupan protein :
1)      Pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien
2)      Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
3)      Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB ideal/hari
b.      Pengaturan asupan kalori : 35 Kal/kgBB ideal/hari
c.       Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d.      Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total
e.       Garam (NaCl) : 2-3 gram/hari
f.       Kalium : 40-70 mEq/kgBB/hari
g.      Fosfor : 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD : 17 mg/hari
h.      Kalsium : 1400-1600 mg/hari
i.        Besi : 10-18 mg/hari
j.        Magnesium : 200-300 mg/hari
k.      Asam folat pasien HD : 5 mg
l.        Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss). Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan berat badan di antara waktu HD<5% BB kering.
I.       Prognosis
Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu:
1.      Stadium pertama disebut penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan pasien asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan tes GFR yang teliti.
2.      Stadium kedua perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, bila lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat di atas  batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, bergantung pada kadar protein dalam makanan. Pada stadium insufisiensi ginjal ini mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria ( akibat gangguan kemampuan pemekatan). Gejala-gejala ini timbul sebagai respon terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba.
3.      Stadium ketiga adalah stadium akhir gagal ginjal progresif yang disebut  penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau uremia. ESRD terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10ml per mennit atau kurang. Pada keadaan ini, kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respon terhadap GFR yang mengalami sedikit penurunan.



















BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK
A.    Pengkajian
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min (Suyono, et al, 2001).
1.      Identitas klien
2.      Keluhan utama
3.      Riwayat penyakit saat ini
4.      Riwayat penyakit dahulu
5.      Riwayat penyakit keluarga
6.      Pemeriksaan fisik
Menurut Doenges (1999), hal-hal yang dikaji pada pasien dengan gagal ginjal kronik yaitu:
1.      Aktivitas istirahat
Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise gangguan tidur (insomnia / gelisah atau samnolen)
Tanda :  Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2.      Sirkulasi.
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi ; nyeri dada (angina).
Tanda : Hipertensi; Distensi Vena Jugularis, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak tangan. Distrimia jantung. Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir. Friction rub pericardial ( Respon terhadap akumulasi sisa). Pucat : kulit coklat kehijauan, kuning, kecendrungan perdarahan.
3.      Integritas Ego
Gejala : Faktor stress, contoh financial, hubungan dan sebagainya. Peresaan tak berdaya, tidak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak , ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
4.      Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut). Abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat berawan. Oliguria dapat menjadi anuria.
5.      Makanan Cairan.
Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi).Anoreksia nyeri ulu hati, mual / muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernafasan ammonia). Penggunaan diuretik.
Tanda : Distensi abdomen/ asites, pembesaran hati (tahap akhir). Perubahan tugor kulit / kelembaban. Edema (umum, tergantung). Ulserasi gusi, perdarahan gusi lidah. Penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
6.      Neurosensori.
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot / kejang : sindrom “kaki gelisah”, kebas rasa terbakar pada telapak kaki. Kebas / kesemutan dan kelemahan. Khususnya ekstremitas bawah (neuropati perifer).
Tanda : Gangguan status mental, contoh penurunan lapangan perhatian, ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadarn, stupor, koma. Penurunan DTR. Tanda Chovostek dan Trousseau positif  kejang, fasikulasi otot, aktifitas kejanng. Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7.      Nyeri / Kenyamanan.
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot / nyeri kaki ( memburuk saat malam hari).
Tanda   : Perilaku berhati – hati / distraksi, gelisah.
8.      Pernafasan.
Gejala :  Nafas pendek, dispnea nocturnal paroksimal : batuk dengan tanda sputum kental dan banyak.
Tanda : Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman (pernafasan kusmaul).Batuk produktif dengan sputum merah muda – encer (edema paru).
9.      Keamanan.
Gejala : Kulit gatal. Ada / berulang infeksi.
Tanda : Pruritus. Demam (sepsis, dehidrasi) normotermia dapat secara actual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuhlebih rendah dari normal (efek GGK/ depresi respon imun). Petekie, area ekomosis pada kulit. Fraktur tulang, defosit fosfat kalsium (klasifikasi metastik) pada kulit.Jaringan lunak, sendi : Keterbatasan gerak sendi.
10.  Seksualitas
Gejala : Penurunan libido, amionorea, infertilitas.
11.  Interaksi Sosial.
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi, contoh tk mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.
12.  Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Riwayat DM keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis herediter, kalkulus urinaria, malignansi. Riwayat terpanjar pada toksin , contoh obat, racun lingkungan penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini / berulang.
B.     Diagnosis
1.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, kebutuhan perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan informasi.
2.      Nyeri akut berhubungan dengan prosedur invasif; pemasukan kateter malalui dinding abdomen/iritasi kateter; penempatan kateter yang tidak tepat
3.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembatasan, prosedur dialisis yang lama.
4.      Resiko cidera dengan faktor resiko kehilangan akses vaskuler akibat pembekuan; perdarahan karena lepasnya sambungan secara tidak sengaja.
5.      Resiko kelebihan volume cairan dengan faktor resiko tidak adekuatnya gradient osmotic dialisat; retensi cairan (malposisi kateter); pemasukan oral/IV berlebihan.
6.      Resiko kekurangan volume cairan dengan faktor resiko penggunaan dialisat hipertonik dengan pembuangan cairan berlebihan dari volume sirkulasi.
7.      Resiko infeksi dengan faktor resiko kontaminasi kateter selama pemasangan, kontaminasi kulit pada sisi pemasangan kateter.







DAFTAR PUSTAKA

Mahdiana, Ratna. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini. Yogyakarta : Tora Book.
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan keperawatan gangguan sistem perkemihan. Jakarta :
Salemba Medika

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Rani, A. Aziz. 2006. Panduan pelayanan medik. Jakarta : Internal Publishing
Rubenstein, David. 2005. Kedokteran Klinis. Jakarta : Erlangga
Sibuea, Herdin. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : PT. RINEKA CIPTA
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar