BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A. Defenisi
Trauma kepala adalah cedera daerah kepala yang terjadi akibat dipukul
atau terbentur benda tumpul. Untuk mengatasi trauma kepala, maka tengkorak
kepala sangat berperan penting sebagai pelindung jaringan otak. Cedera pada
otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma
tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek
terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung
terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan
rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan
itu bisa terjadi seketika atau rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau
tekanan.(Grace & Borley. 2007)
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat
gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan
diagnostik-klinik penanganan dan prognosisnya yaitu:
1.
Tingkat I : Bila dijumpai adanya riwayat
kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma, kemudian
sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik
dan tidak ada defisit neurologist.
2.
Tingkat II : Kesadaran
menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan
dijumpai adanya defisit neurologis vokal.
3.
Tingkat III : Kesadaran yang sangat menurun dan tidak
bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana) sama sekali. Penderita masih bisa
bersuara namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh serta gelisah.
Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit
sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi
dekortikasi-deserebrasi.
4.
Tingkat IV : Tidak ada fungsi neurologis sama
sekali. (Brunner & Suddarth, 2001)
B. Keparahan
Cedera Kepala
Hudak dkk dalam Krisanty (2009)
membagi cedera kepala sebagai berikut :
1.
Cedera kepala ringan
a. Nilai
GCS 13-15
b. Amnesi
kurang dari 30 menit
c. Trauma
sekunder dan trauma neurologis tidak ada
d. Kepala
pusing beberapa jam sampai beberapa hari
2.
Cedera kepala sedang
a. Nilai
GCS 9-12
b. Penurunan
kesadaran 30 menit – 24 jam
c. Terdapat
trauma sekunder
d. Gangguan
neurologis sedang
3.
Cedera kepala berat
a. Nilai
GCS 3-8
b. Kehilangan
kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari
c. Terdapat
cedera sekunder: kontusio, fraktur tengkorak , perdarahan dan hematoma
intrakranial
C.
Etiologi
Cedera pada trauma dapat terjadi
akibat tenaga dari luar berupa:
1.
Benturan/jatuh karena kecelakaan
2.
Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda
tumpul, peluru dan ledakan panas.
Akibat cedera ini berupa memar, luka
jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.
D. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan penting dalam
menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala
yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul atau karena terkena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur
objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan
diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan
posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada
substansi alba dan batang otak. (Prince & Wilson, 1995)
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan
mungkin karena memar pada permukaan otak, leserasi substansia alba, cedera
robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan auto regulasi serebral (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi. (Prince
& Wilson, 1995)
E. Gambaran /
Gejala Klinis
Menurut Agus Purwadianto & Budi
Sampurna (2000) gambaran klinis cedera yaitu :
1.
Komosio Cerebri
a.
Penderita pingsan sebentar (kurang dari 10 menit)
b.
Nyeri kepala
c.
Pusing
d.
Mual, muntah
e.
Setelah sadar, penderita menunjukkan gejala-gejala
retrograt amnesia (lupa akan kejadian-kejadian pada waktu beberapa saat sebelum
terjadinya kecelakaan)
2.
Kontusio Cerebri
a.
Penderita pingsan selama berjam-jam, bahkan
berhari-hari sampai berminggu-minggu
b.
Retrograt amnesia lebih berat dan jelas
c.
Ditemukan gejala neurologik yaitu reflek babinski
positif serta kelumpuhan nyata
d.
Pada keadaan berat didapatkan denyut nadi yang cepat
sekali, suhu badan meningkat, pernapasan chyne strokes dan kesadaran menurun
sampai koma.
3.
Perdarahan Epidural
a.
Penderita hanya pingsan sesaat, kemudian sadar kembali
akan tetapi beberapa waktu (biasanya 3 x 24 jam) timbul gejala-gejala progresif
seperti nyeri kepala hebat, kesadaran menurun dapat sampai koma
b.
Pupil anisokor
c.
Refleks patologik babinski ditemukan unilateral
d.
Ditemukan tanda-tanda gangguan traktus piramidalis
seperti hemipareses, refleks tendon yang meninggi dibandingkan dengan sisi
kontralateral
4.
Perdarahan Subdural
a.
Nyeri kepala yang makin lama makin berat biasanya di
daerah dehidrasi, edema papila nervus optikus (papil edema)
b.
Derajat gangguan kesadaran berbeda-beda tergantung
kepada kerusakan yang terdapat di otak.
F. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
1.
Scan CT tanpa/dengan kontras : Mengidentifikasi adanya
SOL, hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin
tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pasca trauma.
2.
MRI : Sama dengan scan CT tanpa/dengan
menggunakan kontras.
3.
Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi
cerebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan serta
trauma.
4.
Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema),
adanya fragmen tulang.
5.
BAER (Brain Auditori Evoked Respons). : Menentukan
fungsi korteks dan batang otak.
6.
Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan subarachnoid.
G.
Komplikasi
Perdarahan di dalam otak, yang disebut hematoma
intraserebral, dapat menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih
sering, cedera kepala terbuka. Pada perdarahan di otak, tekanan intrakranial
meningkat, dan sel neuron dan vaskular tertekan. Ini adalah jenis cedera otak
sekunder. Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera, atau dapat
menurun setelahnya ketika hematoma meluas dan edema interstisial memburuk.
Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif
dapat terjadi dan tetap ada. (Corwin, 2009)
H. Penanganan
Cedera Kepala
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi
didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”, yakni:
1.
Breathing
Perlu
diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya
obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan :
suction, inkubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila
perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema
cerebri.
2.
Blood
Mencakup
pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit).
Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan
makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan
(yang kebanyakan bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
3.
Brain
Penilaian
keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan verbal (GCS).
Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu
pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4.
Bladder
Kandung
kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung
kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan
intracranial cenderung lebih meningkat.
5.
Bowel
Seperti
halnya di atas, bahwa yang penuh juga cenderung dapat meninggikan TIK.
6.
Bone
Mencegah
terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi. (Arif, 2008)
I.
Prognosis
Prognosis
setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik
yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien
setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Data dasar tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin
dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital. (Doenges, 2000)
1.
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang
keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi,
hemiparese quadreplegia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan
cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan otot spastik.
2.
Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal
(hipertensi)
Tanda : Perubahan frekwensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia dan disritmia).
3.
Integritas
Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau
kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium,
agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
4.
Eliminasi
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau
mengalami gangguan fungsi.
5.
Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan
selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan
menelan (batuk, air liur keluar dan disfagia).
6.
Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling,
baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan
dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran sampai koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori), Perubahan pupil (respon
terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti perintah.
Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah
tidak simetri, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada
atau lemah, apraksia, hemiparise, quedreplegia, postur (dekortikasi dan
deserebrasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan
sensasi sebagian tubuh.
7.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan
lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
8.
Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang
diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi
positif (kemungkinan karena aspirasi).
9.
Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi.
10.
Gangguan
penglihatan
Tanda : Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna,
seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya
trauma), adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS).
11.
Gangguan
kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan secara umum mengalami paralysis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
12.
Interaksi
Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara
tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
B. Diagnosa Keperawatan
1.
Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema cerebral,
penurunan TD/hipoksia
2.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan
tekanan intra kranial, trauma
3.
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit
neureologis),
4.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
persepsi atau kognitif, nyeri
5.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis
cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi (penggunaan steroid),
perubahan sistem integritas tertutup (kebocoran CSS).
6.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman, tidak mengenal sumber-sumber
informasi, kurang mengingat/keterbatasan kognitif
7.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
C. Intervensi Keperawatan
1.
Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema cerebral,
penurunan TD/hipoksia ditandai dengan :
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori,
perubahan respon motorik, sensorik, gelisah, perubahan tanda vital
Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran
biasa/perbaikan, kognisi dan fungsi motorik/sesnsorik.
Kriteria : Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda
peningkatan TIK.
Intervensi :
a.
Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan
tertentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan
potensial peningkatan TIK.
R/ : Menentukkan pilihan intervensi, penurunan
tanda gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal
mungkin menunjukan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif
untuk memantau TIK dan atau pembedahan.
b.
Pantau/catat status neurologis secara teratur dan
bandingkan dengan nilai standar (misalnya Skala Coma Glascow).
R/ : Mengkaji adanya kecenderungan
pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
c.
Pantau TTV
-
Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus
dan nadi yang semakin berat, observasi terhadap hipertensi pada pasien yang
mengalami trauma multiple.
R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran
darah otak yang konstan pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik.
Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi cerebral lokal
atau menyebar. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan
tekanan darah diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti
oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga
mengakibatkan kerusakan/iskemia cerebral.
-
Frekwensi jantung, catat adanya bradikardia,
takikardia atau bentuk disritmia lainnya.
R/ : Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria)
dan disritmia dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang
otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
-
Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti
adanya periode apnue setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan
cheynestokes.
R/ : Napas yang tidak teratur dapat menunjukkan adanya
gangguan cerebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih lanjut
termasuk kemungkinan dukungan napas buatan.
d.
Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman,
kesamaan antara kiri dan kanan dan reaksinya terhadap cahaya.
R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor
(N.III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.
Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan
parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkoordinasi
dari saraf cranial optikus dan okulomtorius.
e.
Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya
penglihatan yang kabur, ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh
kerusakan mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan
juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.
f.
Kaji letak/gerakan mata, catat apakah pada
posisi tengah atau ada deviasi pada satu sisi atau ke bawah. Catat pula
hilangnya refleks dolls eye.
R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi
area otak yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam
abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf cranial V.
Hilangnya dolls eye mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak
dan prognosisnya jelek.
g.
Catat ada tidaknya refleks-refleks tertentu seperti
refleks menelan, batuk, babinski dan sebagainya.
R/ : Penurunan refleks menandakan adanya
kerusakan pada tingkat otak tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh
langsung terhadap pasien. Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya
trauma sepanjang jalur piramida pada otak
h.
Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi
netral, sokong dengan gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar
pada kepala.
R/ : Kepala yang miring pada satu sisi akan
menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan
meningkatkan TIK.
i.
Kolaborasi :
-
Tinggikan kepala pasien 15 – 45 derajat sesuai
indikasi yang dapat ditoleransi.
R/ : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala
sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan
TIK.
-
Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
R/ : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah cerebral yang meningkatkan
TIK.
-
Berikan obat sesuai indikasi.
R/ : mempercepat proses penyembuhan
2.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan
tekanan intra kranial, trauma
Tujuan : Rasa nyeri berkurang setelah
dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria : Pasien mengatakan nyeri berkurang. Pasien
menunjukan skala nyeri pada angka 3. Ekspresi wajah klien rileks.
a.
Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya
dan lamanya.
R/ Mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan faktor yang penting untuk
menentukan terapi yang cocok serta mengevaluasi keefektifan dari terapi.
b.
Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya
adanya infeksi, trauma servikal.
R/ Pemahaman terhadap penyakit yang mendasarinya membantu dalam memilih
intervensi yang sesuai.
c.
Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam
R/: teknik nafas dalam dapat menurunkan nyeri
d.
Beri kompres dingin pada kepala
R/ Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.
e.
Kolaborasi pemberian analgetik
R/ untuk mengurangi nyeri akibat trauma
3.
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit
neureologis), ditandai dengan :
Disorientasi waktu, tempat dan orang, perubahan dalam
respons terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan dalam postur,
ketidakmampuan untuk memberitahu posisi bagian tubuh (propiosepsi,), perubahan
pola komunikasi, distorsi audiotorius dan visual, konsentrasi buruk, perubahan
proses berpikir/berpikir kacau.
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat
kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
Kriteria : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan
adanya keterlambatan residu. Mendemonstrasikan perubahan
perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil.
Intervensi :
a.
Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi,
kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan proses pikir
R/ : Fungsi cerebral bagian atas
biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan
dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat
dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan
kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara
perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat tertentu.
b.
Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan,
panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak
tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ : Informasi penting untuk
keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya
perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan
sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespons secara sesuai pada suatu
stimuli.
c.
Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai
kebutuhan
R/ : Menurunkan ansietas, respon emosi yang
berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
d.
Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa
adanya gangguan.
R/ : Mengurangi kelelahan, mencegah
kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidak adanya tidur REM ini
dapat meningkatkan gangguan persepsi sensorik).
e.
Gunakan penerangan siang atau malam hari.
R/ : Memberikan perasaan normal
tentang pola perubahan waktu dan pola tidur/bangun.
f.
Kolaborasi :
Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi
wicara dan terapi kognitif.
R/ : Pendekatan antar disiplin dapat
menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi
kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan berfokus pada
peningkatan evaluasi dan fungsi fisik dan keterampilan perceptual.
4.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
persepsi atau kognitif, nyeri ditandai dengan : ketidakmampuan bergerak sesuai
tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilitas ditempat tidur, pemindahan,
ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan
kontrol otot, nyeri saat bergerak
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan posisi
fungsi optimal dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.
Kriteria hasil :
Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
dan/atau kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan
dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih
dan fungsi usus.
Intervensi :
a.
Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara
fungsional pada kerusakan yang terjadi.
R/ : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara
fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b.
Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan
skala ketergantungan (0-4).
R/ : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan
bantuan/peralatan yang minimal (nilai 1), memerlukan bantuan sedang/dengan
pengawasan/diajarkan (nilai 2), memerlukan bantuan/peralatan yang terus menerus
dan alat khusus (nilai 3) atau tergantung secara total pada pemberi asuhan
(nilai 4). Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai risiko
kecelakaan, namun kategori dengan nilai 2 – 4 mempunyai risiko yang terbesar
untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan imobilisasi.
c.
Beri/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
R/ : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi
normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
d.
Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan
pelembab dan ganti linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut
tetap bersih dan bebas dari kerutan (jaga tetap tegang).
R/ : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan
menurunkan risiko terjadinya ekskoriasi kulit.
e.
Pantau pengeluaran urine. Catat warna dan bau dari
urine. Bantu dengan latihan kandung kemih jika memungkinkan.
R/ : Pemakaian kateter Foley selama fase akut
memungkinkan dibutuhkan untuk jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan
untuk dilakukan latihan kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa metode
kontrol dapat dicoba seperti kateterisasi intermiten (selama pengosongan
sebagian atau seluruhnya), kateter eksternal, interval di atas pispot
memberikan duk inkontinen.
f.
Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat
ditoleransi (contoh toleransi neurologis dan jantung).
R/ : Sesaat setelah fase akut cedera kepala dan jika
pasien tidak memiliki faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang
memadai akan menurunkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu
ginjal/batu kandung kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses
yang normal dan turgor kulit menjadi optimal.
5.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis
cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi (penggunaan steroid),
perubahan sistem integritas tertutup (kebocoran CSS).
Tujuan : Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda
infeksi, mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Intervensi :
a.
Kaji daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti
luka, garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya),
catat karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.
R/ : Deteksi dini perkembangan
infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan
terhadap komplikasi selanjutnya.
b.
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan
teknik cuci tangan yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya
infeksi nosokomial.
c.
Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam,
mengigil, diaforosis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
d.
Berikan perawatan perineal, pertahankan integritas dan
sistem drainase urine tertutup jika menggunakannya serta anjurkan untuk minum
adekuat.
R/ : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan
bakteri atau infeksi yang merambah naik.
e.
Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau
cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran bagian atas.
R/ : Menurunkan pemajanan terhadap
“pembawa kuman penyebab infeksi”
f.
Kolaborasi :
-
Berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien
yang mengalami trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
-
Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.
R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram. Gram dapat
dilakukan untuk memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme
penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.
6.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman, tidak mengenal sumber-sumber
informasi, kurang mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta
informasi, pernyataan salah konsepsi dan ketidak akuratan mengikuti instruksi.
Tujuan :
a.
Berpartisipasi dalam proses belajar.
b.
Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan
pengobatan dan potensial komplikasi.
c.
Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensi :
a.
Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari
pasien dan juga keluarganya.
R/ : Memungkinkan untuk menyampaikan
informasi yang didasarkan atas kebutuhan.
b.
Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan
proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
R/ : Membantu dalam menciptakan
harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini.
c.
Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan
diri.
R/ : Berbagai tingkat bantuan perlu
direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual.
d.
Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal
mengenai aktivitas, obat-obatan dan faktor-faktor penting lainnya.
R/ : Memberikan penguatan visual dan
rujukan setelah sembuh.
e.
Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat
perkembangan dari gejala seperti munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya
saat trauma terjadi (pikiran melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi
buruk), emosi/fisik yang sulit berespon, perubahan gaya hidup termasuk adaptasi
dan tingkah laku yang merusak.
R/ : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon
pasca traumatik yang dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun
setelah mengalami trauma.
7.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
Tujuan : pola tidur efektif
Kriteria hasil : Melaporkan tidur nyenyak. Klien tidur
8-10 jam semalam. Klien tampak segar
Intervensi:
a.
Kaji pola tidur klien
R/: Mengetahui kebiasaan tidur klien,
mengetahui gangguan yang dialami, memudahkan intervensi selanjutnya
b.
Berikan bantal yang nyaman
R/: Meningkatkan kenyamanan meningkatkan
pemenuhan istirahat tidur
c.
Berikan lingkungan yang nyaman, batasi pengunjung
R/: Mengurangi stimulus yang dapat mengganggu
istirahat tidur
d.
Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi nafas
dalam/masase punggung sebelum tidur
R/: Meningkatkan relaksasi menstimulasi istirahat
tidur yang nyaman
DAFTAR PUSTAKA
Grace
& Borley. 2007. At a Galance Ilmu
Bedah Edisi 3. Jakarta. Erlangga
Corwin,
Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta :EGC.
Kristanty,
Paula. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat. Jakarta : Trans Info Media
Mansjoer,
Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Smeltzer,
Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta: EGC
Suriadi,
Yuliani, Rita. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : Fajar
Interpratama,
Doengoes,
Marilyn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar